Rabu, 20 Maret 2013


MAKALAH ILMU DAKWAH
Hubungan Ilmu Dakwah Dengan Ilmu Bantu dan Ilmu Lainnya


Kata Pengantar

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat, karunia, dan kemampuan yang telah diberi olehNya kelompok kami dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul Perkembangan Teori Keilmuan Dakwah dan Hubungannya dengan Ilmu Bantu dengan baik dan tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini diperuntukkan dalam memenuhi tugas makalah mata kuliah Ilmu Dakwah II.
Makalah yang telah penulis selesaikan tentunya memiliki banyak keterbatasan, mulai dari informasi mendetail atau bahkan makna yang kurang tepat.Namun berkat orang tua serta teman-teman yang memberikan dukungan moril dan spiritual kelompok kami dapat menyelesaikannya dengan baik, maka itu saya ucapkan terima kasih kepada mereka.
Kelompok kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, masih banyak kekurangan di dalamnya.Penulis masih mengharapkan masukan, saran, serta kritik yang membangun agar makalah ini menjadi sebuah sumber informasi yang valid, juga bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.


Jakarta, Maret 2013

Penulis








Daftar Isi

Kata Pengantar..........................................................................................................................    ii
Daftar Isi...................................................................................................................................   iii
BAB I           PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang....................................................................................................     1
B.      Tujuan................................................................................................................     1
BAB II          ISI
A.      Perkembangan Ilmu Dakwah...............................................................................     2
B.      Eksistensi dan Objek Studi Ilmu Dakwah..............................................................     2
1.       Ontologi Ilmu Dakwah...................................................................................     3
2.       Epistimologi Ilmu Dakwah..............................................................................     3
3.       Aksiologi Ilmu Dakwah..................................................................................     4
C.      Hubungan Ilmu Dakwah dengan Ilmu Lain............................................................     5
D.      Ilmu-ilmu Bantu Ilmu Dakwah..............................................................................     6
1.       Ilmu Dakwah dan Ilmu-ilmu Agama Islam.......................................................     6
2.       Ilmu-ilmu Dakwah dengan Ilmu-ilmu Sosial Politik..........................................     6
3.       Ilmu Dakwah dan Ilmu-ilmu Normatif dan Metodologis..................................     7
BAB III         PENUTUP
A.      Kesimpulan.........................................................................................................     8
Daftar Pustaka...........................................................................................................................     9



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
”Dakwah adalah fenomena sosial yang dirangsang keberadaannya oleh nash-nash agama Islam. Fakta-fakta sosial tersebut dapat di kaji secara empiris terutama pada aspek proses penyampaian dakwah serta internalisasi nilai agama bagi penerima dakwah”, menurut Jalaludin Rahmat. Dakwah juga merupakan sebuah kegiatan transfer ilmu yang telah dilakukan sejak dulu kala bahkan sebelum Rasulullah ada. Dakwah menyampaikan ajaran keislaman yang benar, begitu tujuannya, namun bisakah dakwah berjalan tanpa adanya ilmu bantu lainnya?
Dalam kajian filsafat, ilmu haruslah memiliki tiga aspek yaitu, ontologi, epistimologi, dan aksiologi.Begitu juga Ilmu Dakwah dapat dijelaskan dari tiga aspek tersebut. Dari perkembangannya Ilmu Dakwah juga berhubungan dengan ilmu-ilmu bantu lainnya atau bahkan dakwah menjadi satu dengan ilmu-ilmu tersebut.
B.      Rumusan Masalah
Bagaimana Ilmu Dakwah ditinjau dari segi filsafat, khususnya dari aspek ontologi, epistimologi, dan aksiologi?Apa hubungan Ilmu Dakwah dengan ilmu bantu lainnya, dan apakah hal tersebut berhubungan?
C.      Tujuan
Penulisan makalah ini ditujukan untuk menggambarkan, menuntun serta memberikan penjelasan bagaimana perkembangan Ilmu Dakwah, dan juga menjelaskan hubungan dari berbagai ilmu kepada Ilmu Dakwah.

  
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Perkembangan Ilmu Dakwah
Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa ”dakwah adalah fenomena sosial yang dirangsang keberadaannya oleh nash-nash agama Islam. Fakta-fakta sosial tersebut dapat di kaji secara empiris terutama pada aspek proses penyampaian dakwah serta internalisasi nilai agama bagi penerima dakwah”.[1]
Dakwah yang demikian itu baik yang dilakukan secara perorangan atau kelompok ataupun lembaga yang di lakukan dengan berbagai media atau pendek kata dakwah dengan segala problematikanya adalah merupakan kenyataan sosial yang dapat di amati sehingga merupakan pengetahuan.
Pengetahuan yang dalam bahasa inggrisnya knowledge adalah gambaran atau kesan yang terdapat dalam fikiran manusia tentang suatu hal baik mengenai sesuatu yang konkret maupun abstrak sebagai hasil dari penangkapan beberapa inderanya.Pengetahuan biasa adalah pengetahuan yang digunakan orang terutama untuk kehidupanya sehari-hari tanpa disertai penyelidikan lebih lanjut dengan lebih intensif tentang seluk beluk sebab dan akibatnya. Sedangkan pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang tidak sekedar ilmu semata-mata, tetapi pengetahuan yang disertai dengan penyelidikan yang mendalam sehingga dapat diyakini kebenaranya serta diketahui apa sebabnya demikian, dan mengapa harus demikiam.[2]
Pengetahuan mengenai dakwah seperti diterangkan diatas adalahmerupakan pengetahuan biasa karena pengetahuan ini hanya sekedar tahu tentang dakwah tanpa adanya penyelidikan dan analisis lebih lanjut.tentu saja untuk menjadikan ilmu dakeah menjadi sebuah ilmu pengetahuan memerlukan persyaratan.
B.      Eksistensi dan Objek Studi Ilmu Dakwah
Setiap ilmu pengetahuan mempunyai objek studi adapun syarat-syaratnya yakni:
Objektif, telah memiliki objek studi dan diterangkan secara objektif
Universal, merupakan pengetahuan dakwah yang telah diketahui kebenarannya secara umum oleh masyarakat dan dapat terbuka dan teruji oleh setiap orang.
Metodik, telah Menggunakan metode yang tepat dalam memahami objek studinya.
Sistematik, pengetahuan dakwah itu telah tersusun secara menyeluruh yang bagian-bagiannya memiliki kolerasi antara satu dengan yang lainnya.
Agar lebih dapat memahami tingkat keilmuan ilmu dakwah sajuh ini perlu dianalisis denagn tiga landasan, yaitu:


1.       Ontologi Ilmu Dakwah
Agar mencapai status ilmiah yang sah setiap disiplin ilmu harus memiliki sifat yang rasional dan teruji dalam wilayah publik ilmu dan pengetahuan untuk mendapatkan status ontologis yang jelas dan di akui maka dari itu hakikat sebuah ilmu sangat penting sebagai basis klasifakasi ilmu, ini menyatakan bahwa tingkat kebenarannya adalah tingkat kebeneran ilmu dan bukan tingkat kebenaran agama, perlu di bedakan bahwa wilayah kajian agama adalah persoalan metafisika yang membutuhkan keyakinan dan tidak semua bisa di perdebatkan sedangkan wilayah kajian ilmu memerlukan verifikasi sebelum di manfaatkan manusia.
Adapun Ilmu Dakwah adalah proses membicarakan tentang aktifitas pengetahuan yang berasal dari Allah SWT lalu di kembangkan umat islam dalam susunan sistematis dan terorganisir serta prosedur ilmu dakwah sebagai metode ilmiah yang menjelaskan tentang pengetahuan bagaimana mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada yang benar sesuai dengan perintah Allah untuk kemaslahatan dan kebahagian mereka di dunia dan di akhirat, sehingga produk Ilmu Dakwah sebagai pengetahuan sistematik menjadi media yang terbuka bagi terlaksananya komunikasi mengajak dan memanggil umat manusia kepada agama islam yang memberikan informasi mengenai amar ma’ruf nahi mungkar agar dapat menggapai kebahagian di dunia dan akhirat, seperti firman Allah yang artinya : “Ajaklah kepada jalan tuhanmu jalan hikmah (bijaksana) dan dengan ajaran –ajaran yang baik sesungguhnya tuhanmu lebih mengetahui orang-orang yang sesat dari jalannya dan lebih mengetahui siapa orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. An-Nahl 125).
Pada hakikatnya ilmu dakwah adalah ajaran yang berisi pesan dan pendidikan agama islam untuk  membangun dan mengembalikan manusia pada fitrahnya, meluruskan tujuan manusia, meneguhkan fungsi manusia sebagai khalifah dan pengemban risallah serta sebagai upaya manisfestasi darirahmatan lil’alamin
2.       Epistemologi Ilmu Dakwah
Berbicara tentang teori pengetahuan ilmu dakwah meliputi pembahasan yang berkaitan dengan seluk beluk pengatahuan Ilmu Dakwah mulai dari ma’rifat, asal-asul Ilmu Dakwah dan landasan atau sumber, unsur-unsur serta metode membangun Ilmu Dakwah.
Sumber pengetahuan ilmu dakwah di dapat dari Nash atau teks Al-Qur’an di jadikan acuan utama dan sekaligus sebagai titik tolak keilmuan dakwah, selanjutnya teks hadist menempati sumber kedua di ikuti realitas sosial dan humanitas yang menyertainya, maka dari itu asal-usul segala ilmu dakwah hanya dari Allah dan manusia menjadi perumus teori-teori menurut wahyu yang tertulis dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah dan sunatullah ( hukum Allah yang berlaku pada alam semesta ).
Adapun bagaimana ilmu dakwah di peroleh menurut Muhammad ‘Abid Al-Jabiri cara memperoleh pengatahuan ada tiga metode, pertamacara berpengetahuan bayani yang memiliki arti secara bahasa penjelasan, pernyataan, ketetapan sedangkan sacara istilah berarti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma dan ijtihad yaitu menempatkan teks (wahyu) sebagai suatu kebenaran yang mutlak sedangkan akal menempati tingkat kedua dan sifatnya menjelaskan teks yang dalam dakwah islam adalah nash Al-Qur’an khususnya yang merupakan sumber utama yang dijadikan sebagai tolak ukur dan titik tolak dari seluruh kegiatan dakwah islam, yang keduacara berpengetahuan irfanai secara bahasa berakar dari kata irfan yang berarti al-ma’rifah, al-alim, al-hikmah, epeistemologi irfani berpangkal pada intuisi yang merupakan perluasan dari pandangan iluminasi dan berakar pada tradisi hermes dan cara irfani juga dapat dimengerti sebagai cara “empati” yang memanfaatkan media zauq atau emotiif untuk memahami obyek dakwah sehingga dengan cara ini dapat langsung merasakan persoalan-persoalan masyarakat, dan yang ketiga cara berpengetahuan burhani secara bahasa berarti argumentasi yang jelas dan menurut istilah logika bahwa untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu dengan berdasarkan komponen kemampuan alamiyah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa dasar teks wahyu suci atau membangun pengetahuan dan visinya atas dasar potensi bawaan manusia yaitu kemampuan melakukan proses pengindraan, eksperimentasi dan konseptualisasi.
Dan teoritik metode, proses dan prosedur keilmuan dakwah yaitu ijtihadiayah, istinbatiyah, qiyas dan abstraksi sehingga keilmuan dakwah lebih bersifat dinamik yang menggunakan akal untuk membumikan teks-teks yang menjadi sumber pengetahuan maka dalam konteks ilmu dakwah membutuhkan ilmu-ilmu bantu seperti psikologi, sosiologi, antropologi, ilmu komunikasi, sejarah peradaban modern dan kontemporer serta filsafat karana ini mempunyai andil besar dalam setaip kajian riset maupun literaturnya, dan untuk membangun ilmu dakwah harus memiliki prinsip-prisip dasar ilmu dakwah yakni analogi deduktif dan induktif, qiyas dan prinsip kausalitas artinya selain menempatkan Al-Qur’an dan Hadist khususnya sebagai prinsip mutlak juga tidak terlepas dari kenyataan yang melatari keterkaitan erat antara relasi data dan fakta; sebab-akibat dan teks dengan konteks.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa eksistensi ilmu dakwah dalam islam berdasarkan intelek yang mengarahkan rasio membentuk ilmu yang bertumpang pada kesadaran dan keimanan terhadap Kekuasaan Allah inilah ilmu yang menjadi petunjuk (Hidayah) suatu ilmu yang mengemban misi kesejahteraan hidup manusia dunia maupun akhirat.
3.       Aksiologi Ilmu Dakwah
Dalam konteks keilmuan dakwah titik tolak aksiologis bertumpu pada upaya mengajak umat manusia untuk sungguh-sungguh beriman kepada zat yang maha tinggi yaitu Allah SWT, dalam aspek nilai inilah Ilmu Dakwah memiliki cita-cita masyarakat islami maka kembali pada landasan aksiologi untuk menyampaikan kebenaran yang harus di bahasakan dan di komunikasikan dengan prinsip-prinsip kebeneran yang berupa kaidah konsistensi, koherensi dan korespondensi dapat di pakai sebagai perangkat normatif nilai pengetahuan baik dakwah sebagai ilmu maupun sebagai objek kajian ini menyatakan bahwa begitu tinggi nilai pengetahuan pada kehidupan manusia yang mana dengan ilmu dan pengetahuannya manusia menyingkapkan tabir yang menutupi kebenaran dakwah baik sumber normatif dari Al-Qur’an dan hadist maupun historis yang di gali dari realitas sosial, budaya dan agama seluruhnya perlu diaktualisasikan kedalam bentuk amal karena aspek amaliah menempati posisi yang cukup dalam dakwah islam yang mana amal merupakan kelanjutan dari bangunan visi yang disandarkan pada tauhid sebagai tolak ukur dalam bertindak dengan demikian aktualisasi diri manusia muslim seseungguhnya bersifat inheren terhadap visi ketauhidannya  oleh karena itu unsur kreatif-dinamis menjadi syarat mutlak bagi dikembangkannya nilai-nilai keilmuan dakwah beserta aplikasi terapannya.
Kebenaran ilmu dakwah maupun kebenaran dakwah sebagai objek kajian keilmuan pada dasarnya terlihat konsistensi dan besifat khas maka dakwah senantiasa menuntut ketegasan tentang kebenaran dari orang yang percaya atas kebenaran teologis tertentu apalagi bermaksud menyampaikannya kepada orang lain maka harus ditunujukan secara konsisten dalam menjalani ritual dengan Allah sebagai puncak kebenaran dan sekaligus secara konsisten mengaktualisasikannya kedalam hubungan antar makhluk secara harmonis, dari sudut empirik ada dua yang diyakaini sebagai nilai dakwah :
a.       Nilai Kerisalahan dari aspek risalahan ini dakwah dilihat sebagai penerus, penyamung, dan menjalankan fungsi dan tugas rasul  yaitu menyerukan kebenaran, kesadaran, kebebasan dan keselamatan rakyat agar terhindar dari marabahaya dan mengajak mereka menuju kehidupan yang berperadaban seperti di contohkan nabi maka seorang da’i mengemban tugas yang sangat berat sebagai agen pembangunan yang berkewajiban menyampaikan ajaran islam kepada umat manusia dan menjaga umat agar tidak tergelincir dalam jurang bahaya
b.      Nilai Rahmat dalam dakwah yaitu ajaran islam harus memberikan manfaat bagi kehidupan umat (petunjuk hati, obat spiritual, mengantarkan hidup yang sejahtera lahir batin) atau “memberikan rahmat dalam kehidupan umat” (Q.S. [21] : 107). Berkaitan fungsinya sebagai rahmat adalah sejauh mana konsep-konsep dan teori-teori ilmu dakwah memberikan kontribusi bagi kehidupan manusia.

C.      Hubungan Ilmu Dakwah dengan Ilmu Lain
Berbicara tentang ilmu dakwah berarti harus memenuhi ketiga unsur tersebut. Aspek ontologi berarti berbicara tentang apa ilmu dakwah itu, apa objek kajiannya, objek materi dan objek formalnya. Hal ini, secara fundamental mempunyai banyak kesamaannya dengan keilmuan komunikasi. Berdasarkan hal tersebut, dapat dirumuskan bahwa ilmu dakwah adalah ilmu yang membahas cara berdakwah yang dalam cara kerjanya, sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, melibatkan dan meminjam teori-teori ilmu serumpun. 
Epistemologi dakwah yaitu metodologi yang dipakai.Dilihat secara konvensional, dimana dakwah selama ini berkembang, ternyata ilmu dakwah sudah ada cekal bakalnya semenjak masa Rasulullah. Karena objek kajiannya adalah manusia, sama dengan komunikasi, maka metodologinya digunakan metode ilmu komunikasi. Berbicara tentang aksiologi, berarti membahas apa kegunaannya ilmu dakwah. Kegunaannya adalah untuk pengembangan syiar agama Islam yang menyangkut seluruh kehidupan manusia.
Agak berbeda dengan pendapat Selo Sumardjan yang masih meragukan keilmuan dakwah dalam satu sisi, tetapi dalam aspek lain dakwah termasuk kelompok disiplin ilmu. Menurut Selo Sumardjan dakwah merupakan suatu ilmu dalam pengertian ilmu-kepercayaan, namun dalam pengertian ilmu pengetahuan (ilmu-intelektual) masih diperdebatkan dan perlu bahasan yang lebih cermat .Lebih lanjut dijelaskannya, dakwah dapat saja menjadi suatu ilmu, bila dakwah dapat diatur dan dilakukan secara ilmiah.Artinya dakwah dalam bidang operasionalnya dapat mengikuti sistem yang terbentuk di atas teori-teori suatu ilmu pengetahuan, yaitu khususnya ilmu komunikasi. Ilmu komunikasi yang termasuk ke dalam kelompok ilmu-ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari cara-cara penyampaian dan penyebaran serta penerimaan informasi dalam arti yang luas, baik secara pribadi dengan pribadi, maupun secara massal, juga cara menyampaikan informasi secara tatap muka dan dalam jarak jauh.
Begitu juga penjelasan Andi Faisal Bakti, bahwa dakwah dapat dikatakan sebagai suatu ilmu apabila studi dakwah bisa empiris, antara lain; pertama, dengan cara menggunakan ilmu komunikasi dalam melihat dakwah, kedua, dakwah dilihat sebagai masalah yang bisa dideteksi: pelaku dakwah, institusi atau lembaga dakwah, pelaksanaan dakwah, proses dakwah, dana dakwah (keuangan), interaksi dakwah, evaluasi dan analisa dakwah, ketiga, bukan menyangkut hal transendental, keimanan kepada yang “ghaib” (menurut pengertian umum). Kecenderungan dakwah dikembangkan saat ini, bukan berdasarkan temuan-temuan empirik hasil pemikiran dan studi/penelitian ilmiah.Ilmu dakwah yang dikembangkn lebih banyak melalui kajian deduktif dan transendental yang diambil secara tekstual dari al-Quran dan Hadis.Dalam hal ini, ilmu dakwah dikategorikan sebagai kajian normatif belaka, sehingga tidak jelas objek formal dan materialnya. 
Memperhatikan betapa urgen dan sinkronnya antara ilmu dakwah dengan ilmu komunikasi, maka hal pula menjadi fokus pengembangan Fakultas Dakwah pada Universitas Islam Negeri Jakarta. Sebagai mana dikemukakan oleh Dekan Fakultas Dakwah UIN Jakarta, bahwa pengembangannya terdapat pada setiap jurusan yang ada di FDK, yaitu Jurusan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, di mana masing masing ilmu tersebut akan membawahi beberapa program studi. Misalnya Ilmu dakwah akan membawahi Manajemen Dakwah, Pengembangan Masyarakat Islam, dan Bimbingan Penyuluhan Islam, sedangkan Ilmu komunikasi akan membawahi Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam dan Jurnalistik. 
Di samping kontribusi ilmu komunikasi bagi ilmu dakwah, juga yang diperlukan adalah bantuan antropologi sebagai pijakan dakwah kultural. Hal ini akan bergerak pada strategi dakwah kultural yaitu gerakan dakwah melalui pendekatan Islam-kultural. Salah satu penyebab keberhasilan para Walisongo di Indonesia menyebarkan agama Islam adalah melalui pendekatan antroposentris, sehingga akulturasi agama Islam dengan budaya masyarakat dapat dikompromikan, walaupun memiliki beberapa kelemahan.Strategi dakwah mengislamisasikan masyarakat ditandai dengan diakomodasinya budaya-budaya masyarkatl yang berarti bukan hanya bersifat teosentris.

D.      Ilmu-ilmu Bantu Ilmu Dakwah
Ilmu dakwah selalu membutuhkan bantuan ilmu-ilmu lainnya di dalam memahami objek studi materi dan objek studi formanya.
1.       Ilmu Dakwah dan Ilmu-ilmu Agama Islam
Ilmu dakwah memiliki kaitan sangat erat dengan ilmu agama islam seperti Tafsir, Fikih, Perbandingan agama, dan sebagainya. Hal ini akan semakin dapat diketahui hal-hal yang berkaitan dengan dakwah baik dengan cara-cara dakwah, pengaruhnya terhadap sikap dan tingkah laku seseorang, media-media dakwah dan masalah-masalah yang lain yang termasuk objek forma ilmu dakwah.
Ilmu-ilmu agama juga membutuhkan bantuan ilmu dakwah dalam menyampaikan dirinya kepada umat manusia. Tanpa diterangkan dan disampikan kepada masyarakat, ilmu-ilmu agama tersebut hanya merupakan suatu ide belaka yang tidak bisa terwujud dalam kenyataan serta tidak diketahui orang lain.
2.       Ilmu-ilmu Dakwah dengan Ilmu-ilmu Sosial Politiik
Ilmu-ilmu Sosial menerangkan berbagai macam segi kehidupan individu dan sosial secara detail dan terperinci. Ilmu ini dapat membantu ilmu dakwah dalam memahami masyarakat tersebut, sebab penyampain ajaran Islam yang menjadi sarana ilmu dakwah sangat komplek yang menyangkut segi struktur sosial, proses sosial, interaksi sosial, dan perubahan sosial seperti yang dibahas dalam sosiologi; maupun tingkah laku manusia sebagai pribadi sosial dan masalah-masalah kejiwaan lainnya seperti yang dikaji dalm ilmu psikologi dn psikologi sosial.
3.       Ilmu Dakwah dan Ilmu-ilmu Normatif dan Metodologis
Ilmu-ilmu normatif adalah ilmu-ilmu yang membicarakan bagaimana seharusnya sesuatu itu, sebagai kebalikan dari ilmu-ilmu positif yang membicarakan suatu menurut apa adanya. Yang termasuk ilmu normatif adalah: ilmu penelitian (riset), ilmu logika, ilmu bimbingan, dan penyuluhan, retorika, publisistik/komunikasi, dan sebagainya.



BAB III
PENUTUP

1.       Kesimpulan
Ilmu dakwah adalah ilmu yang membahas tentang bentuk-bentuk penyampaian ajaran islam kepada seseorang atau sekelompok orang terutama mengenai bagaimana seharusnya menarik perhatian manusia agar mereka menerima dan mengamalkan ajaran secara kaffah.
Objek pengetahuan manusia itu bermacam-macam ada yang kalanya, tentang dirinya, tentang    benda-benda di sekelilingnya, tentang alam raya ini, tentang kehidupan manusia sehari-hari, tentang kegiatan keagamaan, dan sebaginya.Pengetahuan itu dapat diperoleh dengan tidak sengaja.Pengetahuan itu oleh Poedjawijadna dikatakan bisa berupa pengetahuan khusus dan berupa pengetahuan umum.Sedangkan pengetahuan umum yang merupakan pengetahuan yang berlaku bagi seluruh macam dan masing-masing dan macamnya.
Setiap ilmu pengetahuan mempunyai objek studi, karena ia merupakan salah satu pokok   syarat ilmu pengetahuan, di samping syarat-syarat lain yakni metodik, universal, dan sistematis. Sebagaimana dikatakan oleh Poedjawijadna dalam bukunya; Tahu dan Pengalaman sebagai berikut; jika pengetahuan hendak disebut sebagai ilmu, maka haruslah objektifitas, bermetodos universal, dan sistematis.
Ilmu dakwah selalu membutuhkan bantuan ilmu-ilmu lainnya di dalam memahami objek studi materi dan objek studi formanya.
Sejarah perkembangan ilmu dakwah tidak dapat dilepaskan dari sejarah dakwah itu sendiri.Sejauh ini sejarah perkembangan ilmu dakwah belum pernah dibahas oleh literatur-literatur ilmu dakwah.Karena ilmu dakwah tergolong kedalam ilmu yang masih baru.













Daftar Pustaka

Andi Dermawan, dkk. (ed). 2002. Metodologi Ilmu Dakwah. Yogyakarta:  Kurnia Kalam Semesta
Poeradisastro.1981. Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern. Jakarta:  Giri Mukti Pusaka
Irma Fatimah (ed). 1992. Filsafat Islam: kajian ontologis, epistimologis, aksiologis, histories, persfektif. Yogyakarta: Lesfi
Fauzi, Nurullah. 1999. Dakwah-Dakwah Yang Paling Mudah.  Jawa Timur: Putra Pelajar





[1]Jalaluddin Rahmat, Ilmu Dakwah dan Kaitannya dengan Ilmu-ilmu Lain, (Semarang, Seminar, 1990), h. 4.
[2] Poeradisastro, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern, (Jakarta, Giri Mukti Pusaka, 1981), h. 23-24.

makalah antropologi Nujujuh bulan


TRADISI SELAMATAN NUJUH BULAN KEHMILAN
DALAM MASYARAKAT JAWA
Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Matakuliah Antropolgi Agama




Oleh:
Dewi Mauly Syahidah
111051000041
KPI 3B





Komunikasi dan Penyiaran Islam
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
2013
.





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Di Indonesia tradisi selamatan sangat kuat apa lagi dikalangan masyarakat Jawa. Mereka sering mengadakan acara selametan dalam waktu-waktu yang mereka anggap spesial.
Ada berbagai macam selametan yang ada dalam tradisi masyarakat Jawa khususnya. Seperti selamatan bangun rumah, aqiqah, pernikahan, nujuh bulan dll.  Tiap dari upacara yang dilaksanakan sebenarnya memiliki makna dan nilai budaya yang khusus. Akan tetapi masyarakat sendiri kurang mengetahui maksud, tujuan serta makna mengadakan upacara selametan. Kebanyakan dari mereka hanya mengikuti tradisi secara turun temurun, tanpa mengkaji maksud dan tujuannya lebih lanjut.
Di makalah ini penulis memilih tradisi selamatan Nujuh Bulan dalam masyarakat Jawa. Karena, rumitnya ritual selamatan nujuh bulan ini, hingga memerlukan tenaga, pikiran, bahkan materi baik dalam persiapan maupun ketika pelaksanaannya. Semua tahap-tahap tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai tahap-tahap yang harus dilalui. Mulai dari pemilihan hari dan tanggal pelaksanaan saja harus memenuhi syarat dan ketentuan yang ada. Apabila mereka melanggar, maka masyarakat sekitar akan segera merespon negatif terhadap hal tersebut. Piranti-piranti yang tidak sedikit jumlahnya tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit pula. Dalam persiapannya, khususnya piranti yang berupa makanan ada yang memerlukan waktu hingga tiga hari sebelum pelaksanaan acara. Bahkan ada beberapa piranti yang harus terbuang sia-sia. Akan tetapi masih banyak masyarakat yang belum sadar akan hal itu, bahkan menganggapnya wajar.
Untuk itu penulis memilih tema tradisi selamatan Nujuh Bulan yaitu salah satu tradisi selamatan dikalangan masyarakat Jawa untuk penelitian sebagai tugas Ujian Akhir Semester ganjil matakuliah Antropologi Agama.

B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian  Selamatan Nujuh Bulan
2.      Asal-usul  tradisi selamatan “Nujuh Bulan”
3.      Tata cara selamatan “Nujuh Bulan”
4.      Tujuan dan Manfaat selamatan “Nujuh Bulan”
5.      Kaitan Nujuh Bulan dengan Ajaran Islam

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian Tradisi selamatan “Nujuh Bulan”
2.      Untuk mengetahui  Asal-usul  tradisi selamatan “Nujuh Bulan”
3.      Untuk mengetahui  Tata cara selamatan “Nujuh Bulan”
4.      Untuk mengetahui Tujuan dan manfaat selamatan Nujuh Bulan
5.      Untuk mengetahui Kaitan Nujuh Bulan dengan ajaran islam

D.    Metode Penulisan
Untuk mendapatkan informasi dan data yang diperlukan, penulis melakukan metode wawancara dan kepustakaan dari internet. 
  
BAB II
PEMBAHASAN
a.      Pengertian Selametan dan Selamatan Nujuh Bulan
Dalam buku Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, slametan diartikan sebagai upacara sedekah makanan dan doa bersama, yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan ketentraman untuk ahli keluarga yang menyelenggarakan. Slametan sendiri berasal dari kata slamet yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sehingga slametan bisa diartikan sebagai kegiatan-kegiatan masyarakat Jawa yang biasanya digambarkan sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar. Dengan demikian, slametan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Upacara slametan termasuk kegiatan batiniah yang bertujuan untuk mendapat Ridha dari Tuhan. Kegiatan slametan menjadi tradisi hampir seluruh kehidupan di pedusunan Jawa. Ada bahkan yang meyakinibahwa slametan adalah syarat spiritual yang wajib, dan jika dilanggar akan mendapatkan ketidakberkahan atau kecelakaan.
Selamtan nujuh bulan biasa disebut dengan mithoni atau tingkeban disebut mithoni, karena upacara dilaksanakan pada saat kandungan berusia 7 bulan. Dalam bahasa jawa tujuh adalah pitu maka jadilah sebutan mithoni. Disebut tingkeban yakni, selamatan kehamilan usia 7 bulan dimana “sudah tingkeb” yang artinya “tutup”, maksudnya si ibu yang sedang mengandung 7 bulan tidak boleh bercampur dengan suaminya sampai empat puluh hari sesudah persalinan, dan jangan bekerja terlalu berat karena bayi yang dikandung sudah mulai besar hal ini dilakukan untuk menghidari hal-hal yang tidak diinginkan.
Selamatan bulan ketujuh kehamilan biasanya dilakukan oleh orang jawa yang sering disebut tradisi minthoni. Tujuan utama tradisi selamatan nujuh bulan yang sudah berlangsung turun-temurun ini adalah memohon kepada Tuhan agar ibu yang hamil dan bayi dalam kandungannya selamat hingga lahir Tradisi ini juga dilakukan oleh orang yang bukan orang jawa, Selamatan nujuh bulan dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan atau lebih. Biasanya dilakukan saat kehamilan anak pertama.
b.      Asal  Usul  Selamata  Nujuh  Bulan
Tradisi tujuh bulanan atau tingkeban atau disebut juga mitoni yaitu upacara tradisional selamatan terhadap bayi yang masih dalam kandungan selama tujuh bulan.Tradisi ini berawal ketika pemerintahan Prabu Jayabaya.Pada waktu itu ada seorang wanita bernama Niken Satingkeb bersuami seorang pemuda bernama Sadiya. Keluarga ini telah melahirkan anak sembilan kali, namun satu pun tidak ada yang hidup. Karena itu, keduanya segera menghadap raja Kediri, yaitu Prabu Widayaka (Jayabaya). Oleh sang raja, keluarga tersebut disarankan agar menjalankan tiga hal, yaitu:
1.      Setiap hari rabu dan sabtu, pukul 17.00, diminta mandi menggunakan tengkorak kelapa (bathok), sambil mengucap mantera: “Hong Hyang Hyanging amarta martini sinartan huma, hananingsun hiya hananing jatiwasesa. Wisesaning Hyang iya wisesaningsun.Ingsun pudya sampurna dadi manungsa.”
2.      Setelah mandi lalu berganti pakaian yang bersih, cara berpakaian dengan cara menggembol kelapa gading yang dihiasi Sanghyang Kamajaya dan Kamaratih atau Sanghyang Wisnu dan Dewi Sri, lalu di-brojol-kan ke bawah.
3.      Kelapa muda tersebut, diikat menggunakan daun tebu tulak (hitam dan putih) selembar. Setelah kelapa gading tadi di-brojol-kan, lalu diputuskan menggunakan sebilah keris oleh suaminya.
Ketiga hal di atas, tampaknya yang menjadi dasar masyarakat Jawa menjalankan tradisi selamatan tingkeban sampai sekarang. Sejak saat itu, ternyata Niken Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Hal ini merupakan lukisan bahwa orang yang ingin mempunyai anak, perlu melakukan  kesucian atau kebersihan. Niken Satingkeb sebagai wadah harus suci, tidak boleh ternoda, maka dari itu harus dibersihkan dengan mandi keramas. Akhirnya sejak saat itu apabila ada orang hamil, apalagi hamil pertama dilakukan tingkeban atau mitoni. Tradisi ini merupakan langkah permohonan dalam bentuk selamatan.
Batas tujuh bulan, sebenarnya merupakan simbol budi pekerti agar hubungan suami istri tidak lagi dilakukan agar anak yang akan lahir berjalan baik. Istilah methuk (menjemput) dalam tradisi jawa, dapat dilakukan sebelum bayi berumur tujuh bulan.Ini menunjukkan sikap hati-hati orang Jawa dalam menjalankan kewajiban luhur.Itulah sebabnya, bayi berumur tujuh bulan harus disertai laku prihatin.Pada saat ini, keadaan ibu hamil telah seperti ‘sapta kukila warsa’, artinya burung yang kehujanan.Burung tersebut tampak lelah dan kurang berdaya, tidak bisa terbang kemana-mana, karenanya yang paling mujarab adalah berdoa agar bayinya lahir selamat.
c.       Tata Cara Selamatan Nujuh Bulan
Mitoni atau selamatan tujuh bulanan, dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan atau lebih. Dilaksanakan tidak boleh kurang dari 7 bulan, sekalipun kurang sehari. Belum ada neptu atau weton (hari masehi + hari Jawa) yang dijadikan patokan pelaksnaan, yang penting ambil hari selasa atau sabtu.  Tujuan mitoni atau tingkeban agar supaya ibu dan janin selalu dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan
Mitoni tidak dapat diselenggarakan sewaktu-waktu, biasanya memilih hari yang dianggap baik untuk menyelenggarakan upacara mitoni. Hari baik untuk upacara mitoni adalah hari Selasa (Senin siang sampai malam) atau Sabtu (Jumat siang sampai malam) dan diselenggarakan pada waktu siang atau sore hari. Sedangkan tempat untuk menyelenggarakan upacara biasanya dipilih di depan suatu tempat yang biasa disebut dengan pasren, yaitu senthong tengah. Pasren erat sekali dengan kaum petani sebagai tempat untuk memuja Dewi Sri, dewi padi. Karena kebanyakan masyarakat sekarang tidak mempunyai senthong, maka upacara mitoni biasanya diselenggarakan di ruang keluarga atau ruang yang mempunyai luas yang cukup untuk menyelenggarakan upacara.
Tata caranya:
Pertama, pengajian dengan membaca ayat-ayat suci Al Quran, terutama Surat Yusuf  dan Surat Maryam, serta memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pembacaan ayat Surat Yusuf dimaksudkan agar bayi yang akan lahir kelak dapat meneladani sifat-sifat Nabi Yusuf serta mempunyai paras yang rupawan, sedangkan Surat Maryam agar bayi yang akan dilahirkan kelak memiliki paras cantik seperti Maryam. Akan tetapi karna teknologi medis sudah sedemikian canggih, sampai ditemukan USG empat dimensi, jenis kelamin bayi sudah dapat diketahui lebih dini.
Kedua, siraman yang dilakukan oleh sesepuh dan suami. Tradisi siraman ini dilakukan dengan cara memandikan wanita hamil menggunakan sekar setaman oleh para sesepuh. Sekar setaman adalah air suci yang diambilkan dari tujuh mata air (sumur pitu) ditaburi aneka bunga seperti kanthil, mawar, kenanga, dan daun pandan wangi. Sesepuh yang bertugas menyiram sebanyak tujuh (pitu) orang ditambah suaminya sendiri. Siraman merupakan gambaran agar kelahiran bayi kelak suci bersih. Bilangan tujuh, sebenarnya terkait dengan umur kandungan tujuh bulan. Tujuh juga berasal dari bahasa Jawa pitu, berarti pitulungun (pertolongan). Artinya, agar kelak bayi dapat dilahirkan dengan mendapat pertolongan Tuhan. 

            Ke
tiga, setelah siraman selesai, dilakukan tradisi memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain wanita hamil oleh sang suami melalui perut sampai menggelinding ke bawah dan pecah. Hal ini sebagai simbol dan harapan semoga bayi yang akan lahir mendapatkan kemudahan, seperti menggelindingnya telur tadi. Pecahnya telur juga berarti keluarnya bayi dari kandungan ibu. Hal ini tidak jauh berbeda dengan seekor ayam yang menetas dari sebuah telur, bayi pun setelah “bertapa” di kandungan (guwa garba) ibu lalu lahir (weruh padhang hawa). Kadang-kadang, jika sulit mendapatkan telur, diganti dengan tropong (alat untuk mengikal benang tenun). Hal ini juga sebagai lambang agar kelahiran bayi nanti mudah, tidak ada halangan. 
            Keempat, Upacara ganti pakaian 7 kali dan kain batik dengan 7 motif yang berbeda, Calon Ibu mengenakan kain putih sebagai dasar pakaian pertama, kain tersebut melambangkan bahwa bayi yang akan di lahirkan adalah suci dan mendapat berkah dari Tuhan YME. Calon Ibu berganti baju 7 kali dengan di iringi pertanyaan “ sudah pantas belum?”, dan di jawab oleh ibu ibu yang hadir “ belum pantas” sampai yang terakhir ke tujuh kali di jawab “ pantas”. Motif kain dan kemben yang akan dipakai dipilih yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain. Motif kain tersebut adalah:
1.      sidomukti (melambangkan kebahagiaan) Maknanya agar bayi yang akan lahir akan selalu mendapatkan cinta dan kasih oleh sesama dan memiliki sifat belas kasih.,
2.      sidoluhur (melambangkan kemuliaan), Maknanya agar bayi yang akan lahir akan memiliki sifat berbudi pekerti luhur dan sopan santun
3.      truntum (melambangkan agar nilai-nilai kebaikan selalu dipegang teguh) Maknanya agar keluhuran budi kedua orang tua menurun pada sang bayi
4.      parangkusuma (melambangkan perjuangan untuk tetap hidup),
5.      semen rama (melambangkan agar cinta kedua orangtua yang sebentar lagi menjadi bapak-ibu tetap bertahan selma-lamanya/tidak terceraikan),
6.      udan riris (melambangkan harapan agar kehadiran dalam masyarakat anak yang akan lahir selalu menyenangkan),
7.      cakar ayam (melambangkan agar anak yang akan lahir kelak dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya)
Sebagai informasi, kain yang di pakai pada upacara berganti busana memiliki beberapa pilihan motif yang semua nya dapat dimaknai secara baik
Kelima, kain batik yang dikenakan pada wanita hamil tadi diikat dengan tebu tulak (hitam putih) atau diganti dengan benang putih dan atau janur kuning. Tebu tulak, benang putih dan atau janur kuning tersebut harus diputus oleh suami menggunakan sebilah keris. Tebu tulak merupakan lambang tolak bala, agar anak yang lahir jauh dari halangan. Benang putih (lawe) merupakan simbol simpul kelahiran telah terbuka, yaitu plasenta (puser) si bayi. Rintangan-rintangan kelahiran yang dianggap berbahaya, telah dipatahkan oleh suami, sehingga bayi akan lahir dengan mudah. Sedangkan janur kuning yang diikatkan pada perut wanita sebagai pertanda bahwa suami istri tersebut telah mendapatkan cahaya (janur) kemenangan, yaitu akan mendapatkan amanat berupa anak. Cahaya tersebut harus diraih dengan rintangan atau kesulitan, sehingga suami harus mengatasinya dengan cara memotong janur. Pemotongan janur berarti upaya mengatasi kesulitan.
            Keenam, seorang suami memegang kelapa gading muda yang dihiasi lukisan wayang Kamajaya dan Kamaratih , kemudian diteroboskan ke dalam kain yang dipakai wanita hamil ke arah perut (ke bawah). Kelapa gading tersebut menggelinding lalu diterima oleh calon nenek (ibu dari wanita hamil). Calon nenek tersebut segera menggendong kelapa gading muda. Setelah selesai, calon nenek dari pihak besan segera meneroboskan lagi seekor belut yang masih hidup, dan belut tersebut harus ditangkap oleh suami dan kemudian dimasukkan ke dalam sekar setaman. Setelah menangkap belut, suami harus pergi (masuk rumah) tanpa pamit. Tradisi semacam itu sering dinamakan brojolan. Kelapa gading yang dihiasi lukisan wayang Kamajaya dan Kamaratih tadi, merupakan simbol harapan agar kelak bila bayi yang lahir perempuan cantik seperti Dewi Ratih dan jika lahir laki-laki seperti Kamajaya. Belut yang dilepaskan pada sela-sela kain, harus dikejar oleh suami sampai tertangkap, merupakan lambang agar kelahiran bayi nanti dapat lebih cepat, licin seperti belut. Simbolisasi demikian merupakan pola pemikiran asosiatif orang Jawa, yaitu karakteristik belut yang licin dibandingkan dengan kelahiran bayi.
            Ketujuh, setelah itu, ibu hamil diajak masuk ke kamar dalam dan segera berdandan. Ibu hamil harus melakukan tradisi jual dhawet dan rujak. Pada upacara pembuatan rujak , calon ibu membuat rujak di dampingi oleh calon ayah. Dalam tradisi Jawa, yang membuat bumbu rujak dilakukan oleh ibu jabang bayi. Jika bumbunya rasanya asin, biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila tidak kasinen (kebanyakan garam), biasanya lahir laki-laki. Yang bertugas membeli para tamu menggunakan uang buatan (kreweng) atau pecahan genteng. Uang tersebut dimasukkan ke dalam kuali dari tanah. Kuali yang berisi uang tersebut dipecah di depan pintu oleh ibu hamil. Hal ini bermakna agar kelak bayi yang lahir banyak mendapatkan rezeki dan dapat menghidupi keluarga nya.

            Ke
delapan, kenduri sebagai syukuran. Pada saat ini, ada beberapa ubarampe (sesaji) yang perlu dipersiapkan, yaitu:
1.      Bubur 7 macam :
Kombinasi 7 macam; (1) bubur merah (2) bubur putih (3) merah ditumpangi putih, (4)  putih ditumpangi merah, (5) putih disilang merah, (6) merah disilang putih, (7) baro-baro (bubur putih diatasnya dikasih parutan kelapa dan sisiran gula jawa).
Bubur putih dimakan oleh sang Ayah. Bubur merah dimakan sang Ibu. Bubur yang lain dimakan sekeluarga
Bahan:
Bubur putih gurih (dimasak pake santen) dan bubur merah (dimasak pake gula jawa);
Bubur ditaruh di piring kecil-kecil;
2.       Gudangan Mateng  (sayurnya direbus) :
Bahan ; Sayur 7 macam; harus ada kangkung dan kacang. Kangkung dan kacang  panjang jangan dipotong-potong, dibiarkan panjang saja. Semua sayuran direbus.
Bumbu gudangannya pedas.
3.      Nasi Megono ; Nasi dicampur bumbu gudangan pedes lalu dikukus.
4.      Jajanan Pasar ; biasanya berisi 7 macam makanan jajanan pasar tradisional.
5.      Rujak ; bumbunya pedas dengan 7 macam buah-buahan.
6.      Ampyang ; ampyang kacang, ampyang wijen dll (7 macam ampyang). Apabila kesulitan mendapatkan 7 macam ampyang, boleh sedapatnya saja.
7.      Aneka Ragam Kolo ;
Kolo kependem (kacang tanah, singkong, talas), kolo gumantung (pepaya), kolo merambat  (ubi/ketela rambat); kacang tanah, singkong, talas, ketela, pepaya. direbus kecuali pepaya. Pepaya yang sudah masak. Masing-masing jenis kolo tidak harus semua, tetapi bisa dipilih salah satu saja. Misalnya kolo kependhem; ambil saja salah satu misalnya kacang tanah. Jika kesulitn mencari kolo yang lain; yang penting ada dua macam kolo ; yakni cangelo; kacang tanah  +  ketela (ubi jalar).
8.      Ketan ; dikukus lalu dibikin bulatan sebesar bola bekel (diameter 3-4 cm); warna putih, merah, hijau, coklat, kuning.
9.      Tumpeng nasi putih; kira-kira cukup untuk makan 7 atau 11, atau 17 orang
10.  Telur ; telur ayam 7 butir.
11.  Pisang ; pisang raja dan pisang raja pulut masing-masing satu lirang/sisir.
12.  Tumpeng tujuh macam warna; tumpeng dibuat kecil-kecil dengan warna yang berbeda-beda. Bahan nasi biasa yang diwarnai
Setelah itu dimakan bersama oleh para tamu yang hadir di acara selametan nujuh bulan yang diadakan oleh tuan rumah.
  Lambang atau makna yang terkandung dalam unsur upacara mitoni
Upacara-upacara mitoni, yaitu upacara yang diselenggarakan ketika kandungan dalam usia tujuh bulan, memiliki simbol-simbol atau makna atau lambang yang dapat ditafsirkan sebagai berikut:
  • Sajen tumpeng, maknanya adalah pemujaan (memule) pada arwah leluhur yang sudah tiada. Para leluhur setelah tiada bertempat tinggal di tempat yang tinggi.
  • Sajen jenang abang, jenang putih, melambangkan benih pria dan wanita yang bersatu dalam wujud bayi yang akan lahir.
  • Sajen berupa sega gudangan, mengandung makna agar calon bayi selalu dalam keadaan segar.
  • Cengkir gading (kelapa muda yang berwarna kuning), yang diberi gambar Kamajaya dan Dewi Ratih, mempunyai makna agar kelak kalau bayi lahir lelaki akan tampan dan mempunyai sifat luhur Kamajaya. Kalau bayi lahir perempuan akan secantik dan mempunyai sifat-sifat seluhur Dewi Ratih.
  • Benang lawe atau daun kelapa muda yang disebut janur yang dipotong, maknanya adalah mematahkan segala bencana yang menghadang kelahiran bayi.
  • Kain dalam tujuh motif melambangkan kebaikan yang diharapkan bagi ibu yang mengandung tujuh bulan dan bagi si anak kelak kalau sudah lahir.
  • Sajen dhawet mempunyai makna agar kelak bayiyang sedang dikandung mudah kelahirannya.
  • Sajen berupa telur yang nantinya dipecah mengandung makna berupa ramalan, bahwa kalau telur pecah maka bayi yang lahir perempuan, bila telur tidak pecah maka bayi yang lahir nantinya adalah laki-laki.
d.      Tujuan dan Manfaat diadakan Nujuh Bulan
Tujuan diadakannya tradisi selamatan nujuh bulan ini adalah memohon keselamatan kepada Allah Swt. (Tuhan Yang Maha kuasa). Dan bermanfaat agar anak yang dikandung akan terlahir dengan gangsar (mudah), sehat, selamat, fisik yang sempurna, tidak ada gangguan apa-apa, selamatan ini bagi ibu hamil juga akan memberikan rasa percaya diri, menguatkan ibu dalam masa transisi perubahan peran menjadi seorang ibu, mengubah cara pandang ibu terhadap perubahan tubuh selama kehamilan, meningkatkan rasa aman dan rasa dihargai. Ini sebenarnya menggambarkan budi pekerti Jawa yang selalu memproses diri melalui tazkiyatun nafsi (penyucian diri) untuk memohon kepada yang Maha Kuasa. Artinya, wujud pengabdian diri kepada Allah Swt.
e.       Kaitannya Nujuh Bulan dengan Ajaran Islam
Secara eksplisit sebenarnya tidak ada petunjuk yang dapat dijadikan dasar acara tersebut, sehingga ada yang mengatakan acara tersebut sebagai suatu yang sesat(bid’ah). Sebenarnya pelaksanaan tingkepan berangkat dari memahami hadits nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori, yang menjelaskan tentang proses perkembangan janin dalam rahim perkembangan seorang perempuan. Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa pada saat janin berumur 120 hari (4 bulan) dalam kandungan ditiupkan ruh dan ditentukan 4 perkara, yaitu umur, jodoh, rizki, dan nasibnya. Sekalipun dalam hadits tersebut tidak ada perintah untuk melakukan ritual, tetapi melakukan permohonan pada saat itu tidak dilarang. Dengan dasar hadits tersebut, maka kebiasaan orang jawa khususnya Yogya-solo mengadakan upacara adat untuk melakukan permohonan agar janin yang ada dalam rahim seseorang istri lahir selamat dan menjadi anak yang soleh dan solehah.
f.       Hukum Melaksanakan Mithoni Menurut Nahdhatul Ulama
Dalam KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA (NU) KE-5 Di Pekalongan, pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1349 H / 7 September 1930 M. Lihat halaman : 58 disebutkan pernyataan dan jawaban:
Hukum dari melempar kendi yang penuh air hingga pecah pada saat orang-orang menghadiri UPACARA PERINGATAN BULAN KE TUJUH dari umur kehamilan, dengan membaca shalawat bersama-sama, dengan harapan agar kelahiran anak kelak dimudahkan adalah   HARAM karena termasuk tabdzir. Dalam KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA (NU) KE-7 Di Bandung, pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1351 H / 9 Agustus 1932 M. Lihat halaman 71: Menanam ari-ari (masyimah/tembuni) hukumnya sunnah. Adapun menyalakan lilin (lampu) dan menaburkan bunga-bunga di atasnya itu hukumnya H A R A M, karena membuang-buang harta (tabzir) yang tidak ada manfa'atnya.




BAB III

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian panjang diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, selamatan nujuh bulan atau mithoni atau tingkeban adalah upacara yang dilaksanakan oleh ibu hamil yang kandungannya sudah memasuki  usia ke tujuh bulan, yang bertujuan untuk memohon kesalamatan bagi ibu dan bayi yang akan dilahirkan serta kelancaran pada saat persalinan. Tradisi ini dipercaya berawal pada masa Jayabaya yang di wariskan turun temurun hingga sekarang dan ditaati oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Adapun kaitannya dengan ajaran Islam adalah sebagai penghormatan ketika masuknya ruh ke dalam jasad jabang bayi dengan harapan agar ruh yang diberikan adalah ruh yang baik sehingga anak yang lahir nantinya juga berakhlak baik pula.
Tata cara selametan nuju bulanan diawali dengan membaca ayat suci Al-Qur’an yaitu surat Yusuf yang bertujuan agar anak yang dikandung memiliki paras yang rupawan seperti Nabi Yusuf, dan juga membaca surat Mariyam yang bertujuan agar anak yang dikandung memiliki paras yang cantik seperti Mariyam, kedua siraman yang dilakukan oleh sesepuh dan suami, Ketiga, setelah siraman selesai, dilakukan tradisi memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain wanita hamil oleh sang suami, Keempat Upacara ganti pakaian 7 kali dan kain batik dengan 7 motif yang berbeda, kelima Tebu tulak, benang putih dan atau janur kuning diputus oleh suami menggunakan sebilah keris, dan lain sebagainya.
Hukum dari tradisi selamatan nujuh bulanan secara berlebihan, seperti memecahkan kendi dengan cara melempar hukumnya adalah haram. Karena dalam Islam melarang perbuatan yang mengandung unsure berlebihan (Mubadzir).


SARAN
Indonesia terdiri dari beragam kebudayaan, salah satunya adalah budaya Mithoni atau biasa dikenal dengan nuju bulanan. Mithoni ini bukan hanya di kerjakan oleh msasyarakat jawa saja namun, tradisi ini dirayakan oleh budaya betawi, sunda, dan lain sebagainya.  Oleh karena itu sebaiknya kita saling menghormati perbedaan yang terdapat dalam tradisi tersebut. Karena Maksud dan tujuan dari upacara ini beragam, maka sangatlah penting untuk kita hormati. Walaupun ada sebagian yang mengarah pada perbuatan syirik, kita harus menghormati adanya kepercayaan yang terkandung dalam upacara slametan. Tidak lain adalah sikap multikulturalisme yang sangat dibutuhkan untuk menghadapi masalah-masalah perbedaan maksud dan tujuan diadakannya prosesi slametan.
Dalam merayakan tradisi Mithoni, sebaiknya tidak dilaksanakan secara  berlebihan. Karena dalam Islam berlebih-lebihan (Mubadzir) adalah perbuatan yang haram dan dilarang oleh agama, selain itu dalam ayat Al_Qur’an disebutkan bahwa perbuatan mubadzir adalah termasuk perbuatan setan dan yang mengikutinya termasuk kawan dari setan.









DAFTAR PUSTAKA