TRADISI SELAMATAN NUJUH BULAN
KEHMILAN
DALAM MASYARAKAT JAWA
Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir
Semester Matakuliah Antropolgi Agama
Oleh:
Dewi Mauly Syahidah
111051000041
KPI 3B
Komunikasi dan Penyiaran Islam
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
Jakarta
2013
.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia tradisi
selamatan sangat kuat apa lagi dikalangan masyarakat Jawa. Mereka sering mengadakan acara selametan
dalam waktu-waktu yang mereka anggap spesial.
Ada berbagai macam selametan yang ada dalam tradisi masyarakat Jawa khususnya.
Seperti selamatan bangun rumah,
aqiqah, pernikahan, nujuh bulan dll. Tiap dari upacara yang dilaksanakan sebenarnya
memiliki makna dan nilai budaya yang khusus. Akan tetapi masyarakat sendiri
kurang mengetahui maksud, tujuan serta makna mengadakan upacara selametan. Kebanyakan dari mereka hanya mengikuti tradisi secara
turun temurun, tanpa mengkaji maksud dan tujuannya lebih lanjut.
Di makalah ini
penulis memilih tradisi selamatan Nujuh Bulan dalam masyarakat Jawa. Karena, rumitnya
ritual selamatan nujuh bulan ini, hingga memerlukan tenaga, pikiran, bahkan
materi baik dalam persiapan maupun ketika pelaksanaannya. Semua
tahap-tahap tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai tahap-tahap yang harus
dilalui. Mulai dari pemilihan hari dan tanggal pelaksanaan saja harus memenuhi
syarat dan ketentuan yang ada. Apabila mereka melanggar, maka masyarakat
sekitar akan segera merespon negatif
terhadap hal tersebut. Piranti-piranti yang tidak sedikit jumlahnya tentu
membutuhkan dana yang tidak sedikit pula. Dalam persiapannya, khususnya piranti
yang berupa makanan ada yang memerlukan waktu hingga tiga hari sebelum
pelaksanaan acara. Bahkan ada
beberapa piranti yang harus terbuang sia-sia. Akan tetapi masih banyak masyarakat
yang belum sadar akan hal itu, bahkan menganggapnya wajar.
Untuk itu penulis memilih tema
tradisi selamatan Nujuh Bulan yaitu salah satu tradisi selamatan dikalangan
masyarakat Jawa untuk penelitian sebagai tugas Ujian Akhir Semester ganjil
matakuliah Antropologi Agama.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Selamatan Nujuh Bulan
2. Asal-usul tradisi selamatan “Nujuh Bulan”
3. Tata cara selamatan “Nujuh Bulan”
4. Tujuan dan
Manfaat selamatan “Nujuh Bulan”
5. Kaitan Nujuh Bulan
dengan Ajaran Islam
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian
Tradisi selamatan “Nujuh Bulan”
2. Untuk mengetahui Asal-usul
tradisi selamatan “Nujuh Bulan”
3. Untuk mengetahui Tata cara selamatan “Nujuh Bulan”
4. Untuk
mengetahui Tujuan dan manfaat selamatan Nujuh Bulan
5. Untuk
mengetahui Kaitan Nujuh Bulan dengan ajaran islam
D. Metode Penulisan
Untuk mendapatkan informasi dan
data yang diperlukan, penulis melakukan metode wawancara dan kepustakaan dari
internet.
BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian Selametan dan Selamatan Nujuh Bulan
Dalam buku Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, slametan diartikan
sebagai upacara sedekah makanan dan doa bersama, yang bertujuan untuk memohon
keselamatan dan ketentraman untuk ahli keluarga yang menyelenggarakan. Slametan sendiri berasal dari kata slamet yang berarti selamat,
bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari
insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sehingga slametan bisa diartikan sebagai
kegiatan-kegiatan masyarakat Jawa yang biasanya digambarkan sebagai pesta
ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih
besar. Dengan demikian, slametan memiliki tujuan akan
penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Upacara slametan termasuk kegiatan batiniah yang bertujuan untuk
mendapat Ridha dari Tuhan. Kegiatan slametan menjadi tradisi hampir seluruh
kehidupan di pedusunan Jawa. Ada bahkan yang meyakinibahwa slametan adalah
syarat spiritual yang wajib, dan jika dilanggar akan mendapatkan ketidakberkahan
atau kecelakaan.
Selamtan nujuh bulan biasa disebut dengan mithoni atau tingkeban
disebut mithoni, karena upacara dilaksanakan pada saat kandungan berusia 7
bulan. Dalam bahasa jawa tujuh adalah
pitu maka jadilah sebutan mithoni.
Disebut tingkeban yakni, selamatan kehamilan usia 7 bulan dimana “sudah
tingkeb” yang artinya “tutup”, maksudnya si ibu yang sedang
mengandung 7 bulan tidak boleh bercampur dengan suaminya sampai empat puluh
hari sesudah persalinan, dan jangan bekerja terlalu berat karena bayi yang
dikandung sudah mulai besar hal ini dilakukan untuk menghidari hal-hal yang
tidak diinginkan.
Selamatan bulan ketujuh kehamilan
biasanya dilakukan oleh orang jawa yang sering disebut tradisi minthoni. Tujuan utama tradisi
selamatan nujuh bulan yang sudah berlangsung turun-temurun ini adalah memohon
kepada Tuhan agar ibu yang hamil dan bayi dalam kandungannya selamat hingga
lahir Tradisi ini juga dilakukan oleh orang yang bukan orang jawa, Selamatan
nujuh bulan dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7
bulan atau lebih. Biasanya dilakukan saat kehamilan anak pertama.
b. Asal Usul Selamata
Nujuh Bulan
Tradisi tujuh bulanan atau tingkeban atau
disebut juga mitoni yaitu upacara tradisional selamatan terhadap bayi yang
masih dalam kandungan selama tujuh bulan.Tradisi ini berawal ketika
pemerintahan Prabu Jayabaya.Pada waktu itu ada seorang wanita bernama Niken
Satingkeb bersuami seorang pemuda bernama Sadiya. Keluarga ini telah melahirkan
anak sembilan kali, namun satu pun tidak ada yang hidup. Karena itu, keduanya
segera menghadap raja Kediri, yaitu Prabu Widayaka (Jayabaya). Oleh sang raja,
keluarga tersebut disarankan agar menjalankan tiga hal, yaitu:
1.
Setiap hari rabu dan sabtu, pukul 17.00, diminta mandi
menggunakan tengkorak kelapa (bathok), sambil mengucap mantera: “Hong Hyang
Hyanging amarta martini sinartan huma, hananingsun hiya hananing jatiwasesa.
Wisesaning Hyang iya wisesaningsun.Ingsun pudya sampurna dadi manungsa.”
2.
Setelah mandi lalu berganti pakaian yang bersih, cara
berpakaian dengan cara menggembol kelapa gading yang dihiasi Sanghyang Kamajaya
dan Kamaratih atau Sanghyang Wisnu dan Dewi Sri, lalu di-brojol-kan ke bawah.
3.
Kelapa muda tersebut, diikat menggunakan daun tebu tulak
(hitam dan putih) selembar. Setelah kelapa gading tadi di-brojol-kan, lalu
diputuskan menggunakan sebilah keris oleh suaminya.
Ketiga hal di atas, tampaknya yang menjadi
dasar masyarakat Jawa menjalankan tradisi selamatan tingkeban sampai sekarang.
Sejak saat itu, ternyata Niken Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Hal ini
merupakan lukisan bahwa orang yang ingin mempunyai anak, perlu melakukan kesucian atau kebersihan. Niken Satingkeb
sebagai wadah harus suci, tidak boleh ternoda, maka dari itu harus dibersihkan dengan
mandi keramas. Akhirnya sejak saat itu apabila ada orang hamil, apalagi hamil
pertama dilakukan tingkeban atau mitoni. Tradisi ini merupakan langkah
permohonan dalam bentuk selamatan.
Batas tujuh bulan, sebenarnya merupakan
simbol budi pekerti agar hubungan suami istri tidak lagi dilakukan agar anak
yang akan lahir berjalan baik. Istilah methuk (menjemput) dalam tradisi jawa,
dapat dilakukan sebelum bayi berumur tujuh bulan.Ini menunjukkan sikap
hati-hati orang Jawa dalam menjalankan kewajiban luhur.Itulah sebabnya, bayi
berumur tujuh bulan harus disertai laku prihatin.Pada saat ini, keadaan ibu
hamil telah seperti ‘sapta kukila warsa’, artinya burung yang kehujanan.Burung
tersebut tampak lelah dan kurang berdaya, tidak bisa terbang kemana-mana,
karenanya yang paling mujarab adalah berdoa agar bayinya lahir selamat.
c. Tata Cara Selamatan Nujuh Bulan
Mitoni atau selamatan tujuh bulanan, dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap
usia 7 bulan atau lebih. Dilaksanakan tidak boleh kurang dari 7 bulan,
sekalipun kurang sehari. Belum ada neptu atau weton (hari masehi
+ hari Jawa) yang dijadikan patokan pelaksnaan, yang penting ambil hari
selasa atau sabtu. Tujuan mitoni atau tingkeban agar
supaya ibu dan janin selalu dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan
Mitoni
tidak dapat diselenggarakan sewaktu-waktu, biasanya memilih hari yang dianggap
baik untuk menyelenggarakan upacara mitoni. Hari baik untuk upacara mitoni
adalah hari Selasa (Senin siang sampai malam) atau Sabtu (Jumat siang sampai
malam) dan diselenggarakan pada waktu siang atau sore hari. Sedangkan tempat
untuk menyelenggarakan upacara biasanya dipilih di depan suatu tempat yang
biasa disebut dengan pasren, yaitu senthong tengah. Pasren erat sekali dengan
kaum petani sebagai tempat untuk memuja Dewi Sri, dewi padi. Karena kebanyakan
masyarakat sekarang tidak mempunyai senthong, maka upacara mitoni biasanya
diselenggarakan di ruang keluarga atau ruang yang mempunyai luas yang cukup untuk
menyelenggarakan upacara.
Tata caranya:
Pertama, pengajian
dengan membaca ayat-ayat suci Al Quran, terutama Surat Yusuf dan Surat Maryam, serta memanjatkan doa
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pembacaan ayat Surat Yusuf dimaksudkan agar bayi
yang akan lahir kelak dapat meneladani sifat-sifat Nabi Yusuf serta mempunyai
paras yang rupawan, sedangkan Surat Maryam agar bayi yang akan dilahirkan kelak
memiliki paras cantik seperti Maryam. Akan tetapi karna teknologi medis sudah sedemikian canggih, sampai ditemukan
USG empat dimensi, jenis kelamin bayi sudah dapat diketahui lebih dini.
Kedua, siraman yang dilakukan oleh sesepuh dan suami. Tradisi
siraman ini dilakukan dengan cara memandikan wanita hamil menggunakan sekar
setaman oleh para sesepuh. Sekar setaman adalah air suci yang diambilkan dari
tujuh mata air (sumur pitu) ditaburi aneka bunga seperti kanthil, mawar,
kenanga, dan daun pandan wangi. Sesepuh yang bertugas menyiram sebanyak tujuh
(pitu) orang ditambah suaminya sendiri. Siraman merupakan gambaran agar
kelahiran bayi kelak suci bersih. Bilangan tujuh, sebenarnya terkait dengan
umur kandungan tujuh bulan. Tujuh juga berasal dari bahasa Jawa pitu, berarti
pitulungun (pertolongan). Artinya, agar kelak bayi dapat dilahirkan dengan
mendapat pertolongan Tuhan.
Ketiga, setelah siraman selesai, dilakukan tradisi memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain wanita hamil oleh sang suami melalui perut sampai menggelinding ke bawah dan pecah. Hal ini sebagai simbol dan harapan semoga bayi yang akan lahir mendapatkan kemudahan, seperti menggelindingnya telur tadi. Pecahnya telur juga berarti keluarnya bayi dari kandungan ibu. Hal ini tidak jauh berbeda dengan seekor ayam yang menetas dari sebuah telur, bayi pun setelah “bertapa” di kandungan (guwa garba) ibu lalu lahir (weruh padhang hawa). Kadang-kadang, jika sulit mendapatkan telur, diganti dengan tropong (alat untuk mengikal benang tenun). Hal ini juga sebagai lambang agar kelahiran bayi nanti mudah, tidak ada halangan.
Keempat, Upacara ganti
pakaian 7 kali dan kain batik dengan 7 motif yang berbeda, Calon Ibu mengenakan
kain putih sebagai dasar pakaian pertama, kain tersebut melambangkan bahwa bayi
yang akan di lahirkan adalah suci dan mendapat berkah dari Tuhan YME. Calon Ibu
berganti baju 7 kali dengan di iringi pertanyaan “ sudah pantas belum?”, dan di
jawab oleh ibu ibu yang hadir “ belum pantas” sampai yang terakhir ke tujuh
kali di jawab “ pantas”. Motif kain
dan kemben yang akan dipakai dipilih yang terbaik dengan harapan agar kelak si
bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain. Motif
kain tersebut adalah:
1.
sidomukti
(melambangkan kebahagiaan) Maknanya agar bayi yang akan lahir
akan selalu mendapatkan cinta dan kasih oleh sesama dan memiliki sifat belas
kasih.,
2.
sidoluhur
(melambangkan kemuliaan), Maknanya agar bayi yang akan lahir akan
memiliki sifat berbudi pekerti luhur dan sopan santun
3.
truntum (melambangkan agar
nilai-nilai kebaikan selalu dipegang teguh) Maknanya agar keluhuran budi
kedua orang tua menurun pada sang bayi
4.
parangkusuma
(melambangkan perjuangan untuk tetap hidup),
5. semen rama (melambangkan agar cinta kedua orangtua yang sebentar lagi
menjadi bapak-ibu tetap bertahan selma-lamanya/tidak terceraikan),
6.
udan riris
(melambangkan harapan agar kehadiran dalam masyarakat anak yang akan lahir
selalu menyenangkan),
7.
cakar ayam
(melambangkan agar anak yang akan lahir kelak dapat mandiri dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya)
Sebagai informasi, kain yang di pakai pada upacara
berganti busana memiliki beberapa pilihan motif yang semua nya dapat dimaknai
secara baik
Kelima, kain batik yang dikenakan pada wanita hamil tadi diikat dengan tebu
tulak (hitam putih) atau diganti dengan benang putih dan atau janur kuning.
Tebu tulak, benang putih dan atau janur kuning tersebut harus diputus oleh
suami menggunakan sebilah keris. Tebu tulak merupakan lambang tolak bala, agar
anak yang lahir jauh dari halangan. Benang putih (lawe) merupakan simbol simpul
kelahiran telah terbuka, yaitu plasenta (puser) si bayi. Rintangan-rintangan
kelahiran yang dianggap berbahaya, telah dipatahkan oleh suami, sehingga bayi
akan lahir dengan mudah. Sedangkan janur kuning yang diikatkan pada perut
wanita sebagai pertanda bahwa suami istri tersebut telah mendapatkan cahaya
(janur) kemenangan, yaitu akan mendapatkan amanat berupa anak. Cahaya tersebut
harus diraih dengan rintangan atau kesulitan, sehingga suami harus mengatasinya
dengan cara memotong janur. Pemotongan janur berarti upaya mengatasi kesulitan.
Keenam, seorang suami
memegang kelapa gading muda yang
dihiasi lukisan wayang Kamajaya dan Kamaratih , kemudian diteroboskan ke
dalam kain yang dipakai wanita hamil ke arah perut (ke bawah). Kelapa gading
tersebut menggelinding lalu diterima oleh calon nenek (ibu dari wanita hamil).
Calon nenek tersebut segera menggendong kelapa gading muda. Setelah selesai,
calon nenek dari pihak besan segera meneroboskan lagi seekor belut yang masih
hidup, dan belut tersebut harus ditangkap oleh suami dan kemudian dimasukkan ke
dalam sekar setaman. Setelah menangkap belut, suami harus pergi (masuk rumah)
tanpa pamit. Tradisi semacam itu sering dinamakan brojolan. Kelapa gading yang
dihiasi lukisan wayang Kamajaya dan Kamaratih tadi, merupakan simbol harapan
agar kelak bila bayi yang lahir perempuan cantik seperti Dewi Ratih dan jika
lahir laki-laki seperti Kamajaya. Belut yang dilepaskan pada sela-sela kain,
harus dikejar oleh suami sampai tertangkap, merupakan lambang agar kelahiran
bayi nanti dapat lebih cepat, licin seperti belut. Simbolisasi demikian
merupakan pola pemikiran asosiatif orang Jawa, yaitu karakteristik belut yang licin
dibandingkan dengan kelahiran bayi.
Ketujuh, setelah itu, ibu hamil
diajak masuk ke kamar dalam dan segera berdandan. Ibu hamil harus melakukan
tradisi jual dhawet dan rujak. Pada upacara pembuatan rujak , calon ibu membuat rujak di
dampingi oleh calon ayah. Dalam tradisi Jawa, yang membuat bumbu rujak dilakukan oleh ibu jabang
bayi. Jika bumbunya rasanya asin, biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila
tidak kasinen (kebanyakan garam), biasanya lahir laki-laki. Yang bertugas membeli para tamu menggunakan uang buatan (kreweng) atau
pecahan genteng. Uang tersebut dimasukkan ke dalam kuali
dari tanah. Kuali yang berisi uang tersebut dipecah di depan pintu oleh ibu
hamil. Hal ini bermakna agar kelak bayi yang lahir banyak mendapatkan rezeki dan dapat menghidupi
keluarga nya.
Kedelapan, kenduri sebagai syukuran. Pada saat ini, ada beberapa ubarampe (sesaji) yang perlu dipersiapkan, yaitu:
1. Bubur 7
macam :
Kombinasi 7 macam; (1) bubur merah (2) bubur putih (3) merah ditumpangi
putih, (4) putih ditumpangi merah, (5) putih disilang merah, (6) merah
disilang putih, (7) baro-baro (bubur putih diatasnya dikasih parutan kelapa dan
sisiran gula jawa).
Bubur putih dimakan oleh sang Ayah. Bubur merah dimakan sang Ibu. Bubur
yang lain dimakan sekeluarga
Bahan:
Bubur putih gurih (dimasak pake santen) dan bubur merah (dimasak pake gula
jawa);
Bubur ditaruh di piring kecil-kecil;
2. Gudangan Mateng (sayurnya direbus) :
Bahan ; Sayur 7 macam; harus ada kangkung dan kacang. Kangkung dan
kacang panjang jangan dipotong-potong, dibiarkan panjang saja. Semua
sayuran direbus.
Bumbu gudangannya pedas.
3. Nasi Megono ; Nasi dicampur bumbu gudangan pedes lalu dikukus.
4. Jajanan Pasar ; biasanya berisi 7 macam makanan jajanan pasar
tradisional.
5. Rujak ; bumbunya pedas dengan 7 macam buah-buahan.
6. Ampyang ; ampyang kacang, ampyang wijen dll (7 macam ampyang).
Apabila kesulitan mendapatkan 7 macam ampyang, boleh sedapatnya saja.
7. Aneka Ragam Kolo ;
Kolo kependem (kacang tanah,
singkong, talas), kolo gumantung (pepaya), kolo merambat (ubi/ketela
rambat); kacang tanah, singkong, talas, ketela, pepaya. direbus kecuali pepaya.
Pepaya yang sudah masak. Masing-masing jenis kolo tidak harus semua, tetapi
bisa dipilih salah satu saja. Misalnya kolo kependhem; ambil saja salah satu
misalnya kacang tanah. Jika kesulitn mencari kolo yang lain; yang penting ada
dua macam kolo ; yakni cangelo; kacang tanah + ketela (ubi jalar).
8. Ketan ; dikukus lalu dibikin bulatan sebesar bola bekel
(diameter 3-4 cm); warna putih, merah, hijau, coklat, kuning.
9. Tumpeng nasi putih; kira-kira cukup untuk makan 7 atau 11, atau 17 orang
10. Telur ; telur ayam 7 butir.
11. Pisang ; pisang raja dan pisang raja pulut masing-masing satu
lirang/sisir.
12. Tumpeng tujuh macam warna; tumpeng dibuat kecil-kecil dengan warna yang
berbeda-beda. Bahan nasi biasa yang diwarnai
Setelah itu dimakan bersama oleh para tamu yang hadir di acara selametan
nujuh bulan yang diadakan oleh tuan rumah.
Lambang
atau makna yang terkandung dalam unsur upacara mitoni
Upacara-upacara
mitoni, yaitu upacara yang diselenggarakan ketika kandungan dalam usia tujuh
bulan, memiliki simbol-simbol atau makna atau lambang yang dapat ditafsirkan
sebagai berikut:
- Sajen tumpeng,
maknanya adalah pemujaan (memule) pada arwah leluhur yang sudah
tiada. Para leluhur setelah tiada bertempat tinggal di tempat yang tinggi.
- Sajen jenang abang,
jenang putih, melambangkan benih pria dan wanita yang bersatu dalam wujud
bayi yang akan lahir.
- Sajen berupa sega
gudangan, mengandung makna agar calon bayi selalu dalam keadaan segar.
- Cengkir gading
(kelapa muda yang berwarna kuning), yang diberi gambar Kamajaya dan Dewi
Ratih, mempunyai makna agar kelak kalau bayi lahir lelaki akan tampan dan
mempunyai sifat luhur Kamajaya. Kalau bayi lahir perempuan akan secantik
dan mempunyai sifat-sifat seluhur Dewi Ratih.
- Benang lawe atau
daun kelapa muda yang disebut janur yang dipotong, maknanya adalah
mematahkan segala bencana yang menghadang kelahiran bayi.
- Kain dalam tujuh
motif melambangkan kebaikan yang diharapkan bagi ibu yang mengandung tujuh
bulan dan bagi si anak kelak kalau sudah lahir.
- Sajen dhawet
mempunyai makna agar kelak bayiyang sedang dikandung mudah kelahirannya.
- Sajen berupa telur yang nantinya dipecah mengandung makna
berupa ramalan, bahwa kalau telur pecah maka bayi yang lahir perempuan,
bila telur tidak pecah maka bayi yang lahir nantinya adalah laki-laki.
d. Tujuan dan Manfaat diadakan Nujuh
Bulan
Tujuan
diadakannya tradisi selamatan nujuh bulan ini adalah memohon
keselamatan kepada Allah Swt. (Tuhan Yang Maha kuasa). Dan bermanfaat agar anak yang dikandung akan terlahir dengan
gangsar (mudah), sehat, selamat, fisik yang sempurna, tidak ada gangguan
apa-apa, selamatan ini bagi
ibu hamil juga akan memberikan rasa percaya diri, menguatkan ibu dalam masa transisi perubahan peran menjadi seorang
ibu, mengubah cara pandang ibu terhadap perubahan tubuh selama kehamilan,
meningkatkan rasa aman dan rasa dihargai. Ini sebenarnya menggambarkan
budi pekerti Jawa yang selalu memproses diri melalui tazkiyatun nafsi
(penyucian diri) untuk memohon kepada yang Maha Kuasa. Artinya, wujud
pengabdian diri kepada Allah Swt.
e. Kaitannya Nujuh
Bulan dengan Ajaran Islam
Secara eksplisit sebenarnya tidak ada
petunjuk yang dapat dijadikan dasar acara tersebut, sehingga ada yang
mengatakan acara tersebut sebagai suatu yang sesat(bid’ah). Sebenarnya
pelaksanaan tingkepan berangkat dari memahami hadits nabi yang diriwayatkan
oleh Bukhori, yang menjelaskan tentang proses perkembangan janin dalam rahim
perkembangan seorang perempuan. Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa pada
saat janin berumur 120 hari (4 bulan) dalam kandungan ditiupkan ruh dan
ditentukan 4 perkara, yaitu umur, jodoh, rizki, dan nasibnya. Sekalipun dalam
hadits tersebut tidak ada perintah untuk melakukan ritual, tetapi melakukan
permohonan pada saat itu tidak dilarang. Dengan dasar hadits tersebut, maka
kebiasaan orang jawa khususnya Yogya-solo mengadakan upacara adat untuk
melakukan permohonan agar janin yang ada dalam rahim seseorang istri lahir
selamat dan menjadi anak yang soleh dan solehah.
f. Hukum Melaksanakan Mithoni Menurut Nahdhatul
Ulama
Dalam KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL
ULAMA (NU) KE-5 Di Pekalongan, pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1349 H / 7
September 1930 M. Lihat halaman : 58 disebutkan pernyataan dan jawaban:
Hukum dari melempar kendi yang penuh air hingga pecah pada saat orang-orang
menghadiri UPACARA PERINGATAN BULAN KE TUJUH dari umur kehamilan, dengan
membaca shalawat bersama-sama, dengan harapan agar kelahiran anak kelak
dimudahkan adalah HARAM karena termasuk tabdzir. Dalam KEPUTUSAN
MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA (NU) KE-7 Di Bandung, pada tanggal 13 Rabiul Tsani
1351 H / 9 Agustus 1932 M. Lihat halaman 71: Menanam ari-ari (masyimah/tembuni)
hukumnya sunnah. Adapun menyalakan lilin (lampu) dan menaburkan bunga-bunga di
atasnya itu hukumnya H A R A M, karena membuang-buang harta (tabzir) yang tidak
ada manfa'atnya.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian
panjang diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, selamatan nujuh bulan atau
mithoni atau tingkeban adalah upacara yang dilaksanakan oleh ibu hamil yang
kandungannya sudah memasuki usia ke
tujuh bulan, yang bertujuan untuk memohon kesalamatan bagi ibu dan bayi yang
akan dilahirkan serta kelancaran pada saat persalinan. Tradisi ini
dipercaya berawal pada masa Jayabaya yang di wariskan turun temurun hingga
sekarang dan ditaati oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Adapun kaitannya
dengan ajaran Islam adalah sebagai penghormatan ketika masuknya ruh ke dalam
jasad jabang bayi dengan harapan agar ruh yang diberikan adalah ruh yang baik
sehingga anak yang lahir nantinya juga berakhlak baik pula.
Tata cara selametan nuju bulanan diawali dengan membaca ayat
suci Al-Qur’an yaitu surat Yusuf yang bertujuan agar anak yang dikandung
memiliki paras yang rupawan seperti Nabi Yusuf, dan juga membaca surat Mariyam
yang bertujuan agar anak yang dikandung memiliki paras yang cantik seperti
Mariyam, kedua siraman yang dilakukan oleh sesepuh dan
suami, Ketiga, setelah siraman
selesai, dilakukan tradisi memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain wanita
hamil oleh sang suami, Keempat Upacara ganti pakaian 7 kali dan kain batik dengan 7
motif yang berbeda, kelima Tebu tulak, benang putih dan atau janur
kuning diputus oleh suami menggunakan sebilah keris, dan lain sebagainya.
Hukum dari tradisi selamatan nujuh bulanan secara
berlebihan, seperti memecahkan kendi dengan cara melempar hukumnya adalah
haram. Karena dalam Islam melarang perbuatan yang mengandung unsure berlebihan
(Mubadzir).
SARAN
Indonesia terdiri dari beragam kebudayaan,
salah satunya adalah budaya Mithoni atau biasa dikenal dengan nuju bulanan.
Mithoni ini bukan hanya di kerjakan oleh msasyarakat jawa saja namun, tradisi
ini dirayakan oleh budaya betawi, sunda, dan lain sebagainya. Oleh karena itu sebaiknya kita saling
menghormati perbedaan yang terdapat dalam tradisi tersebut. Karena Maksud
dan tujuan dari upacara ini beragam, maka sangatlah penting untuk kita hormati.
Walaupun
ada sebagian yang mengarah pada perbuatan syirik, kita harus menghormati adanya
kepercayaan yang terkandung dalam upacara slametan. Tidak lain adalah sikap
multikulturalisme yang sangat dibutuhkan untuk menghadapi masalah-masalah
perbedaan maksud dan tujuan diadakannya prosesi slametan.
Dalam merayakan tradisi Mithoni, sebaiknya
tidak dilaksanakan secara berlebihan.
Karena dalam Islam berlebih-lebihan (Mubadzir) adalah perbuatan yang haram dan
dilarang oleh agama, selain itu dalam ayat Al_Qur’an disebutkan bahwa perbuatan
mubadzir adalah termasuk perbuatan setan dan yang mengikutinya termasuk kawan
dari setan.
DAFTAR PUSTAKA
Tumpeng memiliki simbol dan arti yang dalam. Baik digunakan untuk acara pribadi maupun resmi.
BalasHapusJika mau nambah informasi atau pemesanan bisa ke
http://tokokuejakarta.weebly.com/about.html
Tumpeng memiliki simbol dan arti yang dalam. Baik digunakan untuk acara pribadi maupun resmi.
BalasHapusJika mau nambah informasi atau pemesanan bisa ke
http://tokokuejakarta.weebly.com/about.html